Rabu, 01 Juni 2016

Tenun Lurik Jogja


#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Tenun Lurik dalam hubungannya dengan
Pengertian, Sejarah. Motif dan Nilai Kehidupan )
_____________________________________________________________________






___________________

Kata Pengantar
___________________

"Indonesia dikaruniai keragaman suku bangsa yang masing-masing memiliki
budayanya sendiri. Hal tersebut terlihat pula pada cara berpakaian yang
tidak sama antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya, berbeda
dalam gaya, bentuk serta bahan yang digunakan, kemudian menjadi ciri khas
masing-masing daerah bersangkutan.

Demikian halnya dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta, memiliki pakaian
tradisional yang khas, yaitu salah satunya lurik."

Lurik merupakan nama kain, kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa,
lorek yang berarti garisgaris, yang merupakan lambang kesederhanaan.
Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna
(Djoemena, Nian S., 2000).

Selain berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik juga memiliki
fungsi sebagai status simbol dan fungsi ritual keagamaan. Motif lurik yang
dipakai oleh golongan bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh rakyat
biasa, begitu pula lurik yang dipakai dalam upacara adat disesuaikan dengan
waktu serta tujuannya.

Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau dari sesuatu benda
yang dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki makna yang mengandung
petuah, cita-cita, serta harapan kepada pemakainya. Namun demikian saat ini
pengguna lurik semakin sedikit dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu.
Perajinnya pun dari waktu ke waktu mulai menghilang.

Demikian situs dengan alamat, link :
http://kain-lurik.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6:sejarah-lurik&catid=1:artikel&Itemid=7
mengantarkan tulisannya para kawan sekalian.

...dan...

Berikut info kelengkapannya.

Selamat menyimak...!
Bersama Lagu "Djogjakarta".

Musik...!















_________________________________________________

Sekilas info tentang Tenun Lurik
_________________________________________________










* Pengertian

Lurik menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) adalah suatu kain
hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dengan motif
dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada
umumnya diselingi aneka warna benang.

Kata lurik berasal dari akar kata rik yang artinya garis atau parit
yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain tenun yang memiliki
corak jalurjalur, sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02)
pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau lorek-lorek, yang berarti
garis-garis dalam bahasa Indonesia.

Dan berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa lurik merupakan kain yang diperoleh melalui
proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa
menjadi selembar kain katun.

Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang tukel, tahap
pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan,
penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak
yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin
sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.
Tidak banyak ditemui tulisan mengenai kain tenun lurik.

Hanya ada beberapa saja, antara lain yang ditulis oleh Nian S.Djoemena
dalam bukunya yang berjudul Lurik, Garis-garis Bertuah. Dalam buku
tersebut dijelaskan mengenai proses pembuatan kain lurik beserta alat
yang digunakan. Selain itu, diuraikan pula mengenai macam macam motif
lurik, makna, waktu pemakaian, dan fungsinya secara garis besar terutama
dalam acara ritual keagamaan dan dalam upacara perkawinan. Lurik yang
diuraikan dalam buku tersebut tidak hanya terbatas pada motif lurik
Yogyakarta, ada pula motif Jawa Tengah dan Tuban, ada pula motif irip
lurk yang terdapat di luar Jawa maupun Juan Indonesia.

Namun, buku ini belum menjelaskan lebih lanjut mengenai perkembangan
lurik saat ini dan usaha pelestariannya. Kain lurik merupakan kain tenun
dengan motif garisgaris pada sehelai kain. Kata Lurik berasal dari
bahasa Jawa yaitu lorek yang berarti lajur atau garis (Djoemena,
Nian.S: 2000).








Namun pakaian atau kain dengan motif lorek tidak dapat secara langsung
disebut lurik, karena lurik harus memenuhi persyaratan yang berkaitan
dengan bahan tertentu dan diolah melalui proses tertentu pula, mulai
dari pewarnaan, pencelupan, pengkelosarf, pemaletan, peghanian,
pencucukan, penyetelan, sampai pada penenunan, hingga nantinya menjadi
kain yang slap dipakai. Motif kain lurik ternyata tidak hanya berupa
garis-garis membujur saja, tetapi dalam perkembangannya kemudian,
motif kotak-kotak sebagai hasil kombinasi antara garis melintang
dengan garis membujur dapat dikategorikan sebagai lurik.
Tidak hanya berupa garis, motif kain lurik ada juga yang berupa kotak-
kotak yang merupakan perpaduan dua garis vertikal dan horisontal yang
pada kain tenun yang bercorak garis atau kotak saja, akan tetapi termasuk
pula kain polos dengan berbagai warna, seperti merah dan hijau atau
dikenal dengan nama lurik polosan. Seperti apa yang diungkapkan Dibyo
bahwa "Sifat lurik yaitu: bahannya dari katun, gambar garis, tetapi
kadang bikin kotak-kotak, ataupun polos. Meskipun polos, namanya
tetap lurik."

* Nilai Kehidupan









Salah satu keunggulan manusia adalah bahwa ia memiliki daya kreatif untuk
membuat, membentuk apa yang ada di sekelilingnya, kemudian diolah menjadi
sesuatu yang bermanfaat. Daya kreativitas tersebut merupakan bagian yang
penting dalam proses berkarya seni. Seni merupakan kegiatan kreatif imajinasi
manusia untuk menerangkan, memahami, dan menikmati kehidupan (Haviland:1993).

Dengan daya kreatif yang dimilikinya, manusia berusaha menciptakan pakaian
yang dibuat dari kapas atau bahan lain, kemudian ditenun menjadi kain.
Kain dijahit menjadi pakaian. Seni memiliki tujuan praktis. Tujuan praktis
ini merupakan guna atau manfaat yang diperoleh secara langsung bagi
penggunanya.

Tujuan praktis dari pakaian yaitu untuk melindungi tubuh dari hawa dingin,
gigitan serangga, terik matahari dan berbagai gangguan lainnya. Selain itu
seni memiliki fungsi sebagai norma perilaku yang teratur, meneruskan adat
kebiasaan dan nilai-nilai budaya (Haviland:1993). Dalam adat berpakaian,
seperti dalam penggunaan kain lurik, terdapat nilai budaya yang akan
disampaikan dan untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.

Pada suatu masyarakat tradisional, selain memiliki fungsi guna atau manfaat,
pakaian seringkali memiliki fungsi lain seperti fungsi status simbol, maupun
ritual keagamaan, pada motif- motif tertentu terdapat kandungan nilai,
harapan, dan sebagainya. Orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi
berbeda pakaiannya dengan orang yang status sosialnya lebih rendah,
pakaian yang dikenakan seorang bangsawan berbeda dengan rakyat biasa,
entah itu berbeda model maupun motifnya. Begitu pula pakaian yang dipakai
untuk upacara tertentu berbeda dengan yang dipakai pada hari biasa.
Sesuai dengan keanekaragaman umat manusia, pakaian yang digunakan juga
bermacammacam dan bervariasi. Pada masyarakat yang masih menjunjung tinggi
nilai-nilai tradisinya seperti yang terdapat pada kelompok-kelompok suku
bangsa di Indonesia, pakaian yang digunakan menunjukkan identitas dari
suatu suku bangsa. Dalam hal ini pakaian bukanlah semata-mata sebagai
suatu benda materi yang hanya dipakai tanpa memiliki arti apapun. Kain
lurik misalnya, merupakan suatu simbol karena ia memiliki makna.

Simbol merupakan tanda yang dapat ditafsirkan (Geertz:1992,17) atau
diekplanasikan. Makna-makna tersebut merupakan sesuatu yang tidak
tampak tetapi dapat dilihat melalui penafsiranpenafsiran, pemahaman-
pemahaman yang kemudian ditata sedemikian rupa. Simbol merupakan
segala sesuatu (benda, peristiwa, tindakan, ucapan, dan sebagainya)
yang telah ditempeli arti tertentu. Simbol bukan milik individu,
namun milik suatu kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat tersebut
terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki sistem pengetahuan, gagasan,
ide, adat kebiasaan serta norma perilaku yang sama, yang diungkapkan
dalam tata cara kehidupan manusia yang terwujud dalam benda-benda budaya.

Kain tenun lurik merupakan salah satu benda budaya karena dimiliki oleh
suatu masyarakat tertentu. Benda ini merupakan wujud fisik dari ide,
nilai, maupun norma yang mengatur dan memberi arah bagi masyarakat
pada suatu kebudayaan tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Koentjaraningrat (2000) bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu
norma sebagai tata kelakuan yang mengatur dan memberi arah, aktivitas
yang berpola, dan benda hasil karya manusia sebagai wujud fisiknya.

Manusia tidak dapat terlepas dari simbol, karena manusia adalah
binatang yang terjerat dalam jaringan-jaringan makna yang ditenunnya
sendiri (Geertz:1992). Di setiap waktu dan disegala tempat, manusia
selalu berhubungan dengan simbol atau lambang karena is berpikir,
berperasaan, dan bersikap dengan ungkapanungkapan simbolis
(Herusatoto: 1987). Simbol atau lambang ini merupakan hal yang
penting bagi masyarakat pendukungnya. Menurut Ernst Cassirer (1944)
bahwa manusia tidak dapat melihat„ menemukan, dan mengenai dunia
secara langsung tetapi melalui berbagai simbol. Simbol yang terwujud
dalam benda-benda budaya, dalam hal ini adalah kain tenun lurik
merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat pendukungnya.









Melalui kain lurik ini terdapat pesan, nasihat dan panduan hidup yang
disampaikan dan diharapkan nantinya dapat terus diteruskan ke generasi
selanjutnya. Terdapat beberapa hal mengenai simbol seperti ditulis
oleh C.A Van Peursen (1976), bahwa simbol atau lambang memperlihatkan
kaidah dalam perbuatan manusia. Kaidah itu berhubungan dengan seluruh
pola kehidupan, perbuatan, dan harapan manusia. Simbol muncul ketika
manusia sedang belajar dan untuk menampung hasil belajarnya manusia
menggunakan media bahasa, baik bahasa lisan, tulisan, gerak, maupun
visual.

Pengetahuan yang diperoleh manusia dari hasil belajar semakin lama
semakin bertambah. Untuk mempermudah penyerapan pengtahuan yang semakin
banyak tersebut, bahasa kemudain dialihkan menjadi lambang, simbol
abstrak. Pengertian bahasa disini menjadi meluas meliputi berbagai
bentuk lambang berupa tarian, gambar, kata, maupun isyarat. Lambang
yang diungkapkan melalui media bahasa ini digunakan dalam rangka
meneruskan, mewariskan ajaran kepada generasi setelahnya. Dari simbol
yang terdapat pada kain lurik ini dapat ditemukan harapan, ungkapan,
pelajaran positif yang dapat diambil dan dijadikan pelajaran bagi
generasi selanjutnya dalam menentukan langkah menuju kehidupan yang
lebih baik. Meskipun saat ini tidak banyak lagi yang mengetahui apa
makna dibalik motif lurik, namun ada sebagian orang yang berusaha
bertahan untuk membuat dan mengenakannya baik dalam acara-acara
tertentu, maupun dalam kehidupan sehari-hari.

* Sejarah Lurik









Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik
diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian
berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di
lingkungan keraton.

Pada mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang
berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai
alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh,
sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong.

Dan beberapa situs peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa pada masa
Kerajaan Majapahit, lurik sudah dikenal sebagai karya tenun waktu itu.
Bahwa lurik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lampau,
dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang menggambarkan seorang
ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya.

Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam salah satu relief Candi
Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang menenun dengan alat
tenun gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja
Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu
sebagai salah satu nama kain lurik (Djoemena, Nian.S:2000).

Pada awalnya, motif lurik masih sangat sederhana, dibuat dalam warna
yang terbatas, yaitu hitam, putih atau kombinasal antarkeduanya. Pada
jaman dahulu proses pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan
bahan yaitu benang (lawe). Benang ini berasal dari tumbuhan perdu dengan
warna dominan hitam dan putih.

Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan menggunakan pewarna tradisional,
yaitu yang bernama Tarum) dan dari kulit batang mahoni. Hasil rendaman
daun pohon Tom menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan
kulit batang mahoni menghasilkan warna coklat.

Sebelum ditenun, benang dicuci berkali-kali, kemudian dipukul-pukul
hingga lunak (dikemplong), setelah itu dijemur, lalu dibaluri nasi
dengan menggunakan kuas yang terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan
atau benang ini kaku, kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali
dan benang siap untuk ditenun.

Dahulu, alat yang digunakan untuk menenun dikenal dua macam alat,
yaitu alat tenun bendho dan alat tenun gendong. Adapun alat tenun
bendho terbyat dari bambu atau batang kayu, biasanya digunakan untuk
membuat stagen. Stagen yaitu ikat pinggang dari tenunan benang yang
sangat panjang dan digunakan untuk pengikat kain (jarik) oleh para
wanita Jawa.
Alat tenun ini digunakan dengan posisi berdiri. Disebut sebagai alat
tenun bendho karena alat yang digunakan untuk merapatkan benang pakan
berbentuk bendho (golok), sedangkan alat tenun gendong digunakan untuk
membuat bahan pakaian, selendang lebar, maupun jarik (kain panjang).
Disebut demikian karena salah satu bagiannya diletakkan di belakang
pinggang, sehingga tampak seperti digendong. Dalam proses pembuatan
kainnya, penenun dalam posisi duduk memangku alat tenun tersebut.

Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh semua orang, sebagai busana
sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya, atau tapih/nyamping/jarik
(kain untuk bawahan). Untuk pria, sebagai bahan baju pria, di Solo
disebut dengan beskap, sedangkan di Yogyakarta dinamakan dengan surjan.

Selain itu, lurik juga dibuat selendang (jarik gendong) yang biasanya
dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar untuk menggendong tenggok
(wadah yang terbuat dari anyaman bambu), terutama di daerah Solo dan
Klaten Jawa Tengah.

Selain dibuat untuk bahan pakaian ataupun selendang, yang lebih penting
lagi bahwa kain lurik ini dahulu digunakan dalam upacara yang berkaitan
dengan kepercayaan, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain seperti
ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya.

* Beberapa Macam Corak Lurik








Meskipun motif lurik ini hanya berupa garisgaris, namun variasinya
sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik tradisional,
seperti yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) mengenai nama-nama
corak, yaitu antara lain: corak klenting kuning, sodo sakler, lasem,
tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati
secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam,
jaran dawuk, kijing miring, kunang sekebon, dan sebagainya.

Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) di-sebutkan pula beberapa motif
seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan,
dan bribil. Dalam perkembangannya muncul motif- motif lurik baru yaitu:
yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih,
dan masih banyak lagi. Motif yang paling mutahir adalah motif hujan gerimis,
tenun ikat, dam mimi, dan galer.

Dahulu macam ragam corak lurik sangat banyak, tetapi sekarang banyak yang
sudah terlupakan. Tidak semua orang termasuk para perajin lurik yang ada
sekarang ini tahu dan ingat motif apa saja yang pernah ada, seperti yang
dialami oleh Pak Dibyo. Saat ini perusahaan tenun lurik seperti milik
Bapak Dibyo Sumarto, yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia tidak membuat
motif lurik seperti yang disebutkan di atas, karena peminatnya tidak ada
lagi.

Motif-motif lurik yang sekarang dibuat lebih bervariasi, disesuaikan dengan
warna-warna yang sedang disukai atau sedang trend. Jadi, motif atau corak
lurik yang ia buat cenderung selalu berubah dan makin berkembang.

Beberapa motif disesuaikan dengan yang dikehendaki oleh para pembeli.
Begitu pula dengan perusahaan tenun lurik yang dikelola oleh Ibu Nur.
Beliau bahkan tidak banyak membuat motif tenun jika tidak ada pesanan.
Beberapa kain lurik ia buat saat ini lebih banyak untuk seragam sekolah
dan selendang.

Begitu pula dengan perusahaan tenun Kurnia yang lebih banyak mendapatkan
pesanan dari sekolah-sekolah yang membutuhkan seragam. Selain itu pembelinya
kebanyakan dari siswa sekolah yang sedang praktek tata busana.

Namun demikian, perusahaan tenun ini masih membuat beberapa kain lurik
tradisional yang masih dipakai dari jaman dulu hingga sekarang, yaitu yang
dipakai di lingkungan keraton seperti yang dikenakan oleh para abdi dalem
dan para prajuritnya.Motif yang dipakai para abdi dalem kerajaan tersebut
dinamakan corak telu-pat atau tiga empat dalam bahasa Indonesia.

Pakaian dengan motif ini dinamakan baju peranakan. Baju ini dikenakan oleh
mereka ketika sowan atau caos (menghadap raja).lain kluwung, gedog madu,
sulur ringin, atau tuluh watu. Selain itu, ada pula motif lurik lain yang
juga hanya digunakan oleh orang-orang tertentu pada waktu tertentu pula,
yaitu yang dikenakan oleh abdi dalem dan para punggawa keraton.

Ketika menghadiri pisowanan (mengahadap raja), para abdi dalem memakai
baju peranakan dengan motif telu pat, sedangkan para prajurit keraton
masingmasing juga memakai motif lurik yang telah ditentukan. Prajurit
Jogokaryan memakai motif Jogokaryo, prajurit Mantrijeron memakai motif
mantrijero, begitu pula dengan prajurit Patangpuluhan memakai motif
patangpuluh. Seperti yang diutarakan oleh Pak Dibyo bahwa "Motif
keraton memang memiliki corak tersendiri.

Ada yang me-namakannya lurik tiga empat, untuk para abdi dalem. Nama motifnya
yaitu tiga empat, untuk per-anakan...prajurit keraton antara lain mantrijero,
jogo-karyo, patangpuluh. Motifnya sendiri-sendiri. Motif untuk abdi dalem
untuk caos atau sowan yaitu motif tiga empat." Motif lurik untuk prajurit
kraton lainnya adalah motif ketanggung yaitu yang dikenakan oleh
prajurit Ketanggungan. Mengenai motif yang tidak boleh dipakai oleh setiap
orang dikatakan oleh Ibu Nur, "Ya seperti yang dipakai oleh para abdi dalem,
peranakan, hanya dipakai oleh kalangan keraton. Tidak bisa dipakai umum."
Namun saat ini, menurut apa yang dituturkan oleh Pak Dibyo, bahwa para
pembeli bebas memilih motif mana yang dikehendaki. Pembeli boleh memakai
kain lurik dengan berbagai macam corak, entah itu yang semestinya di
pakai untuk sowan atau caos, ataupun yang digunakan untuk prajurit keraton.

Untuk saat ini, biasanya motif lurik yang tidak boleh dikenakan atau dijual
untuk umum yaitu yang dipakai untuk seragam sekolah, karena motif tersebut
sudah merupakan identitas atau ciri khas sekolah yang bersangkutan.

* Lurik Masa Kini 









Tidak seperti beberapa puluh tahun yang lalu, saat ini tidak banyak masyarakat
yang menaruh minat pada lurik terutama untuk dikenakan sebagai busana sehari-
hari. Halini tampak pada surutnya jumlah pesanan di beberapa perusahaan
tenun lurik yang ada di Yogyakarta. Bahkan di beberapa tempat, perusahaan
tenun lurik tradisional banyak yang gulung tikar.

Seperti yang terjadi di daerah Krapyak Wetan. Dahulu, di sekitar wilayah
tersebut banyak rumah atau tempat produksi tenun lurik, namun sekarang yang
tertinggal hanya satu yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia yang dimiliki Bapak
Dibyo.

Menurut cerita masyarakat setempat, di dusun Mlangi, Kabupaten Sleman
pernah berdiri perusahaan tenun lurik tradisional, tetapi saat ini sudah
tidak ada lagi.

Beberapa tempat lain yang diperkirakan masih terdapat tempat pembuatan tenun
lurik, yaitu di dusun Nggamplong, Godean, Sleman, atau di beberapa tempat
di Kabupaten Kulonprogo.

Dahulu di sana banyak ditemui perusahaan tenun lurik, namun sekarang jika
masih ada jumlahnya sangat sedikit. Menurut beberapa orang, berbagai macam
motif yang dulu pernah dibuat, sekarang sudah tidak dibuat lagi karena
peminatnya pun sudah tidak ada.

Banyak perajin di perusahaan tenun tradisional yang sudah berusia lanjut,
tetapi tidak ada regenerasi perajin untuk meneruskan keahliannya tersebut.

Saat ini orang lebih memilih pekerjaan lain dari pada menenun. Dahulu,
ketika seorang perajin menenun, ketika ada waktu senggang ia minta anaknya
untuk ikut menenun.

Si anak diberi pelajaran sedikit demi sedikit, sehingga lama kelamaan ia bisa
meneruskan pekerjaan orang tuanya. Tetapi saat ini hal ini sudah sulit
dilakukan. Generasi muda tidak lagi mau menenun, lebih memilih pekerjaan lainnya.
Kondisi ini mendorong seorang mendorong beberapa desainer seperti Ninik Darmawan,
kelompok Lawe, PPPPTK Seni dan Budaya untuk mengembangkan produk tekstil dengan
bahan dasar lurik untuk diangkat kembali menjadi produkproduk modern, yang tidak hanya
terbatas untuk pakian saja, tetapi lurik dijadikan sebagai bahan tas, dompet, map,
dan lain sebagainya. Untuk busana desainer Ninik Darmawan telah mengembangkan
beberapa fashion seperti gaun panjang, kemeja pria, rok, jaket, dan sebagainya.

Beberapa pakaian merupakan gabungan motif lurik dengan kain batik. Ninik
mengembangkan kain tenun lurik tersebut karena kain yang bercorak garis-
garis ini memiliki nilai kesederhanaan. Kain yang tebuat dari bahan katun
tersebut sebenarnya juga sangat cocok dengan iklim di Indonesia. Tetapi
memang kesan bahwa lurik merupakan pakaian rakyat cukup kental.

Apa yang hendak disampaikannya melalui setiap desainnya yaitu bahwa motif
lurik ini sebenarnya dapat dikembangkan dan dapat dikenakan di berbagai
tempat dan waktu. Menurutnya dengan sentuhan desain, kain tersebut dapat
diolah, dikembangkan, dijadikan busana masa kini, tanpa merubah arti atau
makna yang terkandung di dalamnya.

Produk-produk tekstil dari bahan lurik dengan desain baru yang indah, tidak
kalah menariknya apabila dibandingkan dengan busana-busana dari bahan batik
atau bahan lainnya. Ternyata lurik menyimpan kekuatan yang begitu dahsyat,
sebagai bagian dari kehidupan masa kini. Apa yang dilakukan Ninik Darmawan,
Lawe, dan PPPPTK Seni dan Budaya sebagai suatu bentuk transformasi budaya,
yang mengangkat budaya lama Indonesia menjadi suatu budaya baru dengan
tidak meninggalkan kekayaan yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya.

Tradisi bukanlah suatu barang yang mati, tetapi ia berkembang dan menjelma
menjadi ujud baru mengikuti perubahan jaman. Tradisi melayani kebutuhan
kehidupan manusia, sehingga tradisi harus sesuai dengan jiwa jamannya, tradisi
yang tidak berubah akan menghambat perkembangan dan akan menjadi nilai atau
produk yang basi.

Dengan demikian seni tradisi seperti lurik harus dapat melayani kehidupan
manusia masa kini, sehingga lurik akan lebih bermakna dan bermanfaat bagi
kehidupan dari masa ke masa.

Tulisan ini semoga memberi inspirasi kepada desainer di berbagai tempat di
Indonesia, untuk mengangkat tenun daerah menjadi bagian kehidupan modern,
mengingat Indonesia begitu kaya dengan berbagai macam tekstil khususnya
tenun, kita akan temukan berbagai ragam tenun yangt indah sejak tanah Papua
sampai dengan Nangroe Aceh Darussalam.

Semoga kekayaan tersebut tidak menjadi kesepian dan mati, tetapi menjadi enerji
baru yang memberi kesegaraan sebagai sebuah bangsa yang kaya dan besar..***

_____________

Penutup
_____________

Demikian infonya para kawan sekalian...!

Kiranya dapat memperluas wawasan kita di bidang Tenun Nusantara ini,
khsusnya tenun yang berasal dari daerah Jawa Tengah.

Postingan lainnya yang berhubungan dengan Tenun pada blog ini, al :

Selamat malam...!















_________________________________________________________________
Cat. Sumber :
Artikel diambil dari “Lurik, Dari Masa ke Masa”
Majalah ARTISTA No. 1 & 2 Vol. 10 Thn. 2007
Ditulis oleh : Feti Anggraeni, S.Ant,
Instruktur, pemerhati, dan pengkaji tekstil
Technoart Park PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
PopCash.net PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork PopCash.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar